BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manajemen risiko merupakan unsur
penting yang penerapannya sangat perlu diperhatikan, khususnya pada Bank
sebagai salah satu lembaga keuangan (financial institution) . Secara umum, risiko yang dihadapi perbankan syariah merupakan
risiko yang relatif sama sama dengan yang dihadapi bank konvensional. Namun
selain itu, bank syariah juga menghadapi risiko yang memiliki keunikan
tersendiri, karena harus mengikuti prinsip-prinsip syariah.
Ada beberapa risiko yang dihadapi
oleh bank islam seperti risiko kredit, risiko likuiditas, dan risiko
pembiayaan. Dalam makalah ini akan dibahas tentang risiko pembiayaan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
definisi dari risiko pembiayaan dan bagaimana cakupannya?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui definisi dari risiko pembiayaan dan cakupannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Risiko Pembiayaan
Risiko pembiayaan sering dikaitkan
dengan risiko gagal bayar. Risiko ini mengacu
pada potensi kerugian yang dihadapi bank ketika pembiayaan yang
diberikan kepada debitur macet. Dimana
debitur tidak mampu memenuhi kewajiban mengembalikan modal yang diberikan oleh
bank. Selain pengembalian modal, risiko ini juga mencakup ketidak mampuan
debitur menyerahkan porsi keuntungan yang seharusnya diperoleh oleh bank yang
telah disepakati diawal. Konsekuensi penggunaan definisi ini adalah risiko
pembiayaan hanya berlaku untuk akad berbasis utang, seperti qardhul hasan, jual
beli muajjal dan jual beli salam. Debitur melakukan pembiayaan menggunakan
skema akad-akad tersebut, diwajibkan untuk membayar kembali kepada bank sesuai
termin yang telah disepakati. Kegagalan debitur melunasi kewajibannya dianggap
sebagai kondisi gagal bayar, yaitu gagal dalam membayar cicilan pokok maupun
porsi keuntungan.[1]
Sedangkan akad berbasis syirkah,
yakni mudharabah dan musyarakah, tidak dapat dimasukkan kedalam risiko ini.
Debitur dalam dua akad tersebut, tidak diwajibkan untuk mengembalikan modal
yang diberikan oleh bank. Apalagi keharusan menyetorkan porsi keuntungan dari
hasil usaha berdasarkan nisbah yang disepakati bersama. Realisasi bagi hasil
dan pengembalian modal, secara mutlak bergantung pada realisasi hasil bisnis
debitur. Jika debitur memperoleh keuntungan, maka bank berhak atas keuntungan kembalinya
modal sebesar 100%. Ketika debitur mengalami kegagalan bisnis, maka tidak ada
bagi untung, yang ada bagi rugi yang harus ditanggung oleh bank. Bank Indonesia
cenderung memilih untuk memasukkan pembiayaan untuk akad mudharabah dan akad
musyarakah pada kelompok risiko investasi.
Selain risiko gagal bayar, risiko
pembiayaan kadang merujuk pada risiko kredit. Sebenarnya risiko kredit lebih
cocok digunakan untuk perbankan konvensional. Karena, konsep skema pada bank
konvensional menggunakan konsep kredit. Bank memeberikan sejumlah dana kepada
debitur dan kemudian meminta pengembalian disertai sejumlah keuntungan yang
diperjanjikan. Melihat skema ini, istialh kredit bisa juga digunakan untuk
pembiayaan di bank islam, seperti untuk akad qardul hasan, jual beli muajjal,
dan jual beli salam, sedangkan untuk pembiayaan mudharabah dan musyarakah,
tidak cocok menggunakan istilah kredit.
Dari kedua istialah diatas, risiko
pembiayaan ini muncul akibat kegagalan debitur untuk menyelesaikan
kewajibannya. Karena muncul dari sisi debitur, risiko ini disebut counter party
risk.
Menurut Veitzal Rivai, risiko
pembiayaan adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan
(counterparty) memenuhi kewajiban. Risiko pembiayaan dapat bersumber dari
berbagai aktifitas fungsional bank seperti pembiayaan(penyediaan dana),
treasury dan investasi, dan dana pembiayaan perdagangan, yang tercatat dalam
banking book maupun trading book.[2]
Dalam memahami konsep risiko
pembiayaan pada bank islam, maka perlu dipahami proses bisnis dari skema
pembiayaan bank islam itu sendiri. Dengan memahami proses bisnis, selain
mendefinisikan secara lebih komprehensif, kita akan mampu mengidentifikasi
titik-titik risiko pada setiap tahapan proses dan sekaligus faktor pemicu
terjadinya risiko tersebut. Akhirnya diharapkan pembangunan sistem mitigasi
risiko menjadi lebih terarah, tersitematis dan bersifat holistik.
B.
Masalah Yang Dihadapi Bank Dalam Penyaluran Dana
Terdapat lima masalah yang dihadapi
oleh bank ketika menyalurkan dananya,
yaitu
1.
Masalah
ketidakpastian kondisi pasar yang akan mempengaruhi kemampuan debitur dalam
mengembalikan dana .
2.
Adanya
kemungkinan perbedaan nilai jual agunan (rahn) pada waktu kontrak dan ketika
termnasi. Hal ini mengarah pada risiko tidak kembalinya modal jika debitur
mengalami gagal bayar.
3.
Masalah
kredibilitas informasi yang diberikan debitur pada waktu pengajuan proposal
pembiayaan. Masalah ini memicu terjadinya ketidak seimbangan informasi antara
bank dan debitur. Kondisi ini dapat menyebabkan bank mengalami salah pilih
debitur dan/atau kesalahan dalam membuat perjanjian kredit, seperti salah dalam
menetapkan limit (pagu) pinjaman, jangka waktu, marjin jual beli serta bentuk
dan jaminan yang diminta.
4.
Masalah
granularity akibat banyaknya debitur yang dibiayai namun nilainya kecil-kecil.
5.
Masalah
ketidakmampuan bank dalam membedakan sebab terjadinya bayar debitur. Kegagalan
bayar dapat disebabkan oleh faktor kemampuan keuangan (ability to pay) atau
ketiadaan iktikad baik dari debitur untuk mau membayar (willingnes to pay).
Kondisi
ketiadaan iktikad baik ini muncul karena adanya moral hazard dari debitur. Moral
hazard adalah kondisi yang bersumber dari sikap mental seseorang yang sifatnya
‘negatif’ dan ‘disengaja’ untuk menimbulkan potensi kerugian bagi pihak lain,
namun menguntungkan dirinya. Moral hazard dapat berasal dari sifat asli yang
dimiliki oleh debitur atau disebabkan faktor lain. Misalnya bank memberikan
pembiayaan kepada Tuan A dan B. Keduanya tinggal didaerah yang dan mereka juga
saling mengenal. Ketika Tuan A mengalami gagal bayar dan tidak ada tindakan
tegas dari bank, maka akan membuat Tuan B untuk melakukan gagal bayar, meskipun
kenyataannya Tuan B mampu untuk membayar. Ketika Tuan B ditanya mrngapa tidak
mau membayar, padahal mampu untuk membayar, dia menjawab “ bukankah Tuan A juga
gagal bayar, kenapa dia boleh sedangkan saya tidak?” kegagalan bank dalam
mendeteksi sebab terjadinya gagal bayar oleh debitur akan menyebabkan bank
salah dalam menetapkan kebijakan penyelesaian pembiayaan bermasalah.
Risiko moral
hazard yang muncul karena sifat kolektif ini selanjutnya dikenal dngan risiko
sistematis atau risiko konsntrasi potofolio. Dalam literatur manajemen risiko,
dikenal dengan istilah ”too many to fail” dan “too big to fail”. Ketika
potofolio pembiayaan yang dimiliki bank terdiri atas banyak debitur dengan
nilai pembiayaan yang hampir sama, dimana masing-masing debitur dimana
masing-masing debitur untuk berkomunikasi dan memiliki tingkat kekohesifan
tinngi, maka kegagalan salah satu debitur dapat memicu kegagalan debitur-debitur
yang lain. Konsekuensinya adalah bank terpaksa harus melakukan restrukturisasi
utang debitur meskipun harus menanggung sejumlah biaya. Jika bank tidak
melakukan ini, bank dapat mengalami risiko kerugian yang lebih besar, yakni
hilangnya seluruh modal yang diberikan pada portofolio tersebut. Inilah yang
dikenal dengan istilah “too many to fail”. Sedangkan istilah “too big to fail”
merujuk pada kondisi dimana bank
memberikan konsentrasi pembiayaan yang lebih besar pada sebagian debitur. Jika
debitur dengan nilai pembiayaan yang lebih besar tersebut mengalami gagal
bayar, dan dengan terpaksa direstrukturisasi oeh bank, maka akan mendorong
debitur-debitur lain dengan nilai pembiayaan kecilakan ikut-ikutan melakukan
skenario gagal bayar, dengan berdaih pada debitur sebaliknya.
Dari tahapan
proses bisnis pemberian pembiayaan, risiko pembiayaan yang dihadapi oleh bank
islam dapat ditemui pada waktu:
1.
Melakukan
penilaian atas penilaian atas proposal yang diajukan debitur,
2.
Memutuskan
menerima atau menolak proposal tersebut,
3.
Menetapkan
kontrak pembiayaan terkait jenis akad yang digunakan, limit pembiayaan, harga,
tenor, dan jaminan.
4.
Metode
penyelesaian kontrak
5.
Pada
waktu terminasi kontrak.
Semua periode
ini membutuhkan serangkaian kebijakan manajemen risiko dan mekanisme mitigasinya agar berbagai
risiko yang dihadapi dapat dikendalikan.
Bank islam
harus segera merumuskan dengan baik proses manajemen risko dan strategi
mitigasi risiko yang memadai. Proses seleksi debitur yang efektif, proses
pengawasan yang efisien, kebijakan agunan dan penilaiannya, dan kebijakan
cut-loss melalui strategi hair cut untuk meminimalisir kerugian akibat gagal
bayarnya debitur. Semua itu adalah beberapa bentuk mitigasi risiko yang perlu
segera dikembangkan oleh bank islam.
Ketidakmampuan
dalam menyediakan sistem manajemen risiko yang andal , atau terlambat
melakukannya, maka potensi dan peluang yang ada tidak akan optimal. Bahkan
dalam jangka waktu panjang, kondisi ini akan mengarah pada dua sumbu ekstrem,
yaitu:
i.
Terganggunya
keberlangsungan bisnis bank,
ii.
Risiko
matinyaUKM, jika bank islam memilih untuk keluar dari komposisi debitur saat
ini, dan lebih memilih korporasi yang secara toritis lebih rendah risikonya.
C.
Pengendalian Risiko Pembiayaan
1.
Bank
harus menetapakan suatu sistem penilaian yang idependen dan berkelanjutan
terhadap efektifitas penerapan proses manajemen risiko pembiayaan.
2.
Bank
harus memastikan bahwa satuan kerja
pembiayaan dan transaksi pembiayaan telah dikelola secara memadai dan eksposur
risiko pembiayaan tetap konsisten dengan limit yang ditetapkan dan memenuhi
standar kehati-hatian.
3.
Bank
harus memiliki prosedur pengelolaan penangan pembiayaan bermasalah, termasuk
sistem deteksi pembiayaan bermasalah secara tertulis dan menerapkannya
secaraefektif. Apabila bank memiliki pembiayaan bermasalah yang cukup
signifikan, bank harus memisahkan fungsi penyelesaian pembiayaan bermasalah
tersebut dengan fungsi yang memutuskan penyaluran pembiayaan. [3]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Risiko
pembiayaan sering dikaitkan dengan risiko gagal bayar. Risiko ini mengacu pada potensi kerugian yang dihadapi bank
ketika pembiayaan yang diberikan kepada debitur
macet. Kegagalan debitur melunasi kewajibannya dianggap sebagai kondisi
gagal bayar, yaitu gagal dalam membayar cicilan pokok maupun porsi keuntungan.
Risiko
pembiayaan adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan
(counterparty) memenuhi kewajiban. Risiko pembiayaan dapat bersumber dari
berbagai aktifitas fungsional bank seperti pembiayaan(penyediaan dana),
treasury dan investasi, dan dana pembiayaan perdagangan, yang tercatat dalam
banking book maupun trading book.
Terdapat lima masalah yang dihadapi oleh bank ketika menyalurkan dananya, yaitu
1.
Masalah
ketidakpastian kondisi pasar yang akan mempengaruhi kemampuan debitur dalam
mengembalikan dana .
2.
Adanya
kemungkinan perbedaan nilai jual agunan (rahn) pada waktu kontrak dan ketika
termnasi.
3.
Masalah
kredibilitas informasi yang diberikan debitur pada waktu pengajuan proposal
pembiayaan.
4.
Masalah
ketidakmampuan bank dalam membedakan sebab terjadinya bayar debitur.
DAFTAR PUSTAKA
Wahyudi, Imam ,
Dkk. 2013. Manajemen Risiko Bank Islam.
Jakarta: Salemba Empat.
Rivai, Veitzal
. 2008. Islamic Financial Management. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rivai, Veitzal
dan Arviyan Arifin. 2010. Islamic Banking. Jakarta: Bumi Aksara.
0 komentar:
Posting Komentar