profil dari penulis

Rabu, 22 Oktober 2014

Definisi Risiko Pembiayaan



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manajemen risiko merupakan unsur penting yang penerapannya sangat perlu diperhatikan, khususnya pada Bank sebagai salah satu lembaga keuangan (financial institution) . Secara umum, risiko yang dihadapi perbankan syariah merupakan risiko yang relatif sama sama dengan yang dihadapi bank konvensional. Namun selain itu, bank syariah juga menghadapi risiko yang memiliki keunikan tersendiri, karena harus mengikuti prinsip-prinsip syariah.
Ada beberapa risiko yang dihadapi oleh bank islam seperti risiko kredit, risiko likuiditas, dan risiko pembiayaan. Dalam makalah ini akan dibahas tentang risiko pembiayaan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari risiko pembiayaan dan bagaimana cakupannya?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui definisi dari risiko pembiayaan dan cakupannya.









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Risiko Pembiayaan
Risiko pembiayaan sering dikaitkan dengan risiko gagal bayar. Risiko ini mengacu  pada potensi kerugian yang dihadapi bank ketika pembiayaan yang diberikan kepada debitur  macet. Dimana debitur tidak mampu memenuhi kewajiban mengembalikan modal yang diberikan oleh bank. Selain pengembalian modal, risiko ini juga mencakup ketidak mampuan debitur menyerahkan porsi keuntungan yang seharusnya diperoleh oleh bank yang telah disepakati diawal. Konsekuensi penggunaan definisi ini adalah risiko pembiayaan hanya berlaku untuk akad berbasis utang, seperti qardhul hasan, jual beli muajjal dan jual beli salam. Debitur melakukan pembiayaan menggunakan skema akad-akad tersebut, diwajibkan untuk membayar kembali kepada bank sesuai termin yang telah disepakati. Kegagalan debitur melunasi kewajibannya dianggap sebagai kondisi gagal bayar, yaitu gagal dalam membayar cicilan pokok maupun porsi keuntungan.[1]
Sedangkan akad berbasis syirkah, yakni mudharabah dan musyarakah, tidak dapat dimasukkan kedalam risiko ini. Debitur dalam dua akad tersebut, tidak diwajibkan untuk mengembalikan modal yang diberikan oleh bank. Apalagi keharusan menyetorkan porsi keuntungan dari hasil usaha berdasarkan nisbah yang disepakati bersama. Realisasi bagi hasil dan pengembalian modal, secara mutlak bergantung pada realisasi hasil bisnis debitur. Jika debitur memperoleh keuntungan, maka bank berhak atas keuntungan kembalinya modal sebesar 100%. Ketika debitur mengalami kegagalan bisnis, maka tidak ada bagi untung, yang ada bagi rugi yang harus ditanggung oleh bank. Bank Indonesia cenderung memilih untuk memasukkan pembiayaan untuk akad mudharabah dan akad musyarakah pada kelompok risiko investasi.
Selain risiko gagal bayar, risiko pembiayaan kadang merujuk pada risiko kredit. Sebenarnya risiko kredit lebih cocok digunakan untuk perbankan konvensional. Karena, konsep skema pada bank konvensional menggunakan konsep kredit. Bank memeberikan sejumlah dana kepada debitur dan kemudian meminta pengembalian disertai sejumlah keuntungan yang diperjanjikan. Melihat skema ini, istialh kredit bisa juga digunakan untuk pembiayaan di bank islam, seperti untuk akad qardul hasan, jual beli muajjal, dan jual beli salam, sedangkan untuk pembiayaan mudharabah dan musyarakah, tidak cocok menggunakan istilah kredit.
Dari kedua istialah diatas, risiko pembiayaan ini muncul akibat kegagalan debitur untuk menyelesaikan kewajibannya. Karena muncul dari sisi debitur, risiko ini disebut counter party risk.
Menurut Veitzal Rivai, risiko pembiayaan adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) memenuhi kewajiban. Risiko pembiayaan dapat bersumber dari berbagai aktifitas fungsional bank seperti pembiayaan(penyediaan dana), treasury dan investasi, dan dana pembiayaan perdagangan, yang tercatat dalam banking book maupun trading book.[2]
Dalam memahami konsep risiko pembiayaan pada bank islam, maka perlu dipahami proses bisnis dari skema pembiayaan bank islam itu sendiri. Dengan memahami proses bisnis, selain mendefinisikan secara lebih komprehensif, kita akan mampu mengidentifikasi titik-titik risiko pada setiap tahapan proses dan sekaligus faktor pemicu terjadinya risiko tersebut. Akhirnya diharapkan pembangunan sistem mitigasi risiko menjadi lebih terarah, tersitematis dan bersifat holistik.



B.     Masalah Yang Dihadapi Bank Dalam Penyaluran Dana
Terdapat lima masalah yang dihadapi oleh bank ketika  menyalurkan dananya, yaitu
1.      Masalah ketidakpastian kondisi pasar yang akan mempengaruhi kemampuan debitur dalam mengembalikan dana .
2.      Adanya kemungkinan perbedaan nilai jual agunan (rahn) pada waktu kontrak dan ketika termnasi. Hal ini mengarah pada risiko tidak kembalinya modal jika debitur mengalami gagal bayar.
3.      Masalah kredibilitas informasi yang diberikan debitur pada waktu pengajuan proposal pembiayaan. Masalah ini memicu terjadinya ketidak seimbangan informasi antara bank dan debitur. Kondisi ini dapat menyebabkan bank mengalami salah pilih debitur dan/atau kesalahan dalam membuat perjanjian kredit, seperti salah dalam menetapkan limit (pagu) pinjaman, jangka waktu, marjin jual beli serta bentuk dan jaminan yang diminta.
4.      Masalah granularity akibat banyaknya debitur yang dibiayai namun nilainya kecil-kecil.
5.      Masalah ketidakmampuan bank dalam membedakan sebab terjadinya bayar debitur. Kegagalan bayar dapat disebabkan oleh faktor kemampuan keuangan (ability to pay) atau ketiadaan iktikad baik dari debitur untuk mau membayar (willingnes to pay).
Kondisi ketiadaan iktikad baik ini muncul karena adanya moral hazard dari debitur. Moral hazard adalah kondisi yang bersumber dari sikap mental seseorang yang sifatnya ‘negatif’ dan ‘disengaja’ untuk menimbulkan potensi kerugian bagi pihak lain, namun menguntungkan dirinya. Moral hazard dapat berasal dari sifat asli yang dimiliki oleh debitur atau disebabkan faktor lain. Misalnya bank memberikan pembiayaan kepada Tuan A dan B. Keduanya tinggal didaerah yang dan mereka juga saling mengenal. Ketika Tuan A mengalami gagal bayar dan tidak ada tindakan tegas dari bank, maka akan membuat Tuan B untuk melakukan gagal bayar, meskipun kenyataannya Tuan B mampu untuk membayar. Ketika Tuan B ditanya mrngapa tidak mau membayar, padahal mampu untuk membayar, dia menjawab “ bukankah Tuan A juga gagal bayar, kenapa dia boleh sedangkan saya tidak?” kegagalan bank dalam mendeteksi sebab terjadinya gagal bayar oleh debitur akan menyebabkan bank salah dalam menetapkan kebijakan penyelesaian pembiayaan bermasalah.
Risiko moral hazard yang muncul karena sifat kolektif ini selanjutnya dikenal dngan risiko sistematis atau risiko konsntrasi potofolio. Dalam literatur manajemen risiko, dikenal dengan istilah ”too many to fail” dan “too big to fail”. Ketika potofolio pembiayaan yang dimiliki bank terdiri atas banyak debitur dengan nilai pembiayaan yang hampir sama, dimana masing-masing debitur dimana masing-masing debitur untuk berkomunikasi dan memiliki tingkat kekohesifan tinngi, maka kegagalan salah satu debitur dapat memicu kegagalan debitur-debitur yang lain. Konsekuensinya adalah bank terpaksa harus melakukan restrukturisasi utang debitur meskipun harus menanggung sejumlah biaya. Jika bank tidak melakukan ini, bank dapat mengalami risiko kerugian yang lebih besar, yakni hilangnya seluruh modal yang diberikan pada portofolio tersebut. Inilah yang dikenal dengan istilah “too many to fail”. Sedangkan istilah “too big to fail” merujuk pada  kondisi dimana bank memberikan konsentrasi pembiayaan yang lebih besar pada sebagian debitur. Jika debitur dengan nilai pembiayaan yang lebih besar tersebut mengalami gagal bayar, dan dengan terpaksa direstrukturisasi oeh bank, maka akan mendorong debitur-debitur lain dengan nilai pembiayaan kecilakan ikut-ikutan melakukan skenario gagal bayar, dengan berdaih pada debitur sebaliknya.
Dari tahapan proses bisnis pemberian pembiayaan, risiko pembiayaan yang dihadapi oleh bank islam dapat ditemui pada waktu:
1.      Melakukan penilaian atas penilaian atas proposal yang diajukan debitur,
2.      Memutuskan menerima atau menolak proposal tersebut,
3.      Menetapkan kontrak pembiayaan terkait jenis akad yang digunakan, limit pembiayaan, harga, tenor, dan jaminan.
4.      Metode penyelesaian kontrak
5.      Pada waktu terminasi kontrak.
Semua periode ini membutuhkan serangkaian kebijakan manajemen  risiko dan mekanisme mitigasinya agar berbagai risiko yang dihadapi dapat dikendalikan.
Bank islam harus segera merumuskan dengan baik proses manajemen risko dan strategi mitigasi risiko yang memadai. Proses seleksi debitur yang efektif, proses pengawasan yang efisien, kebijakan agunan dan penilaiannya, dan kebijakan cut-loss melalui strategi hair cut untuk meminimalisir kerugian akibat gagal bayarnya debitur. Semua itu adalah beberapa bentuk mitigasi risiko yang perlu segera dikembangkan oleh bank islam.
Ketidakmampuan dalam menyediakan sistem manajemen risiko yang andal , atau terlambat melakukannya, maka potensi dan peluang yang ada tidak akan optimal. Bahkan dalam jangka waktu panjang, kondisi ini akan mengarah pada dua sumbu ekstrem, yaitu:
                                          i.           Terganggunya keberlangsungan bisnis bank,
                                        ii.           Risiko matinyaUKM, jika bank islam memilih untuk keluar dari komposisi debitur saat ini, dan lebih memilih korporasi yang secara toritis lebih rendah risikonya.


C.    Pengendalian Risiko Pembiayaan
1.      Bank harus menetapakan suatu sistem penilaian yang idependen dan berkelanjutan terhadap efektifitas penerapan proses manajemen risiko pembiayaan.
2.      Bank  harus memastikan bahwa satuan kerja pembiayaan dan transaksi pembiayaan telah dikelola secara memadai dan eksposur risiko pembiayaan tetap konsisten dengan limit yang ditetapkan dan memenuhi standar kehati-hatian.
3.      Bank harus memiliki prosedur pengelolaan penangan pembiayaan bermasalah, termasuk sistem deteksi pembiayaan bermasalah secara tertulis dan menerapkannya secaraefektif. Apabila bank memiliki pembiayaan bermasalah yang cukup signifikan, bank harus memisahkan fungsi penyelesaian pembiayaan bermasalah tersebut dengan fungsi yang memutuskan penyaluran pembiayaan. [3]










BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Risiko pembiayaan sering dikaitkan dengan risiko gagal bayar. Risiko ini mengacu  pada potensi kerugian yang dihadapi bank ketika pembiayaan yang diberikan kepada debitur  macet. Kegagalan debitur melunasi kewajibannya dianggap sebagai kondisi gagal bayar, yaitu gagal dalam membayar cicilan pokok maupun porsi keuntungan.
Risiko pembiayaan adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) memenuhi kewajiban. Risiko pembiayaan dapat bersumber dari berbagai aktifitas fungsional bank seperti pembiayaan(penyediaan dana), treasury dan investasi, dan dana pembiayaan perdagangan, yang tercatat dalam banking book maupun trading book.
Terdapat lima masalah yang dihadapi oleh bank ketika  menyalurkan dananya, yaitu
1.         Masalah ketidakpastian kondisi pasar yang akan mempengaruhi kemampuan debitur dalam mengembalikan dana .
2.         Adanya kemungkinan perbedaan nilai jual agunan (rahn) pada waktu kontrak dan ketika termnasi.
3.         Masalah kredibilitas informasi yang diberikan debitur pada waktu pengajuan proposal pembiayaan.
4.         Masalah ketidakmampuan bank dalam membedakan sebab terjadinya bayar debitur.






DAFTAR  PUSTAKA

Wahyudi, Imam , Dkk. 2013. Manajemen Risiko Bank Islam.  Jakarta: Salemba Empat.
Rivai, Veitzal . 2008. Islamic Financial Management. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rivai, Veitzal dan Arviyan Arifin. 2010. Islamic Banking. Jakarta: Bumi Aksara.


[1] Imam Wahyudi Dkk, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013) hal.90
[2] Veitzal Rivai, Islamic Financial Management, (Jakarta: Raja Grafinda Persada, 2008), hal.633
[3] Veitzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hal. 974

0 komentar:

Posting Komentar